Jumat, 27 Juni 2008

Keinginan Anda??????

Apa Yang Ingin Anda Capai?


Apa yang ingin anda capai dalam hidup ini? Pertanyaan ini muncul dalam forum diskusi website radio veritas edisi bahasa Cina. Sungguh amat menarik untuk melihat bahwa semua manusia tak terkecuali pasti akan berhadapan dengan pertanyaan ini. Ada orang yang secara serius merenungkan hal ini, ada juga yang pada akhirnya menjadi takut berhadapan dengan pertanyaan yang sama. Namun apapun tanggapan setiap kita, satu hal adalah pasti yakni bahwa kita tak dapat menolak untuk mengalamatkan pertanyaan ini kepada diri kita sendiri; “Apa yang ingin aku capai dalam hidupku?” Jalan hidup manusia, bila disebut singkat, yah ternyata tidak. Dan bila disebut panjang juga tidak. Ketika hidup di atas bumi ini kita harus berhadapan dengan jalan yang tak selalu lurus, jalan yang tak selalu rata. Sering kita harus menahan hati yang sakit dan terluka. Kadang kita seakan kehabisan nafas. Tapi di balik itu, ada pula kegembiraan dan kebahagiaan, ada pula penghiburan. Namun kita semua mengarah pada satu tujuan yang sama; Suatu saat kita akan memejamkan mata untuk kekal dan mengucapkan selamat tinggal pada dunia yang sekarang. Suatu saat, entah cepat atau lambat, kita memasuki suatu kehidupan yang mungkin tak seperti kehidupan yang kini sedang kita hidupi. Oh...bagaimana harus kututup bab terakhir buku kehidupanku ini? Dan bagaimana pula dengan sejuta mimpi yang selama ini aku kejar? Apa yang ingin aku capai, apa yang ingin aku kejar selagi buku kehidupanku ini masih terbuka? Semoga aku masih belum terlambat mengangkat pena untuk mengukir halaman-halaman yang masih tersisa.

Seorang peserta diskusi dengan huruf yang lumayan besar menulis bahwa ia ingin menemukan cinta. Ia ingin mencintai dan dicintai. Karena Tuhan adalah cinta. Yang lain mengatakan bahwa yang dikejarnya dalam hidup adalah kedamaian dan kesehatan lahir bathin, karena menurutnya Tuhanlah asal dan tujuan segala kedamaian, dan bahwa harta terbesar yang bisa dimiliki manusia adalah kesehatan. Seorang lagi mengatakan bahwa ia mengejar kebahagiaan. Oh...kebahagiaan!!! Aku yakin kita semua pasti ingin bahagia. Kita menginginkan agar setiap halaman buku kehidupan kita penuh terukir jejak-jejak kebahagiaan. Namun kita pasti akan dengan segera menabrak suatu pertanyaan yang amat mendasar; Apa itu kebahagiaan? Bila kita meneliti semua sejarah hidup manusia, kita akan dengan mudah memberikan suatu kesimpulan bahwa kebahagiaan yang sempurna, kebahagiaan yang tak tercela tak pernah terukir dalam dunia yang fana ini. Semua kebahagiaan yang pernah ada di dunia ini besifat relatif. Apakah ia ditentukan oleh uang? Beckham memiliki banyak uang, tapi anda pasti tahu apakah ia sungguh bahagia atau tidak. Menjadi seorang presiden? Haha...aku yakin Bush sering kekurangan tidur di malam hari.

Bagiku, aku tak dapat membangun kebahagiaan yang sempurna di atas dasar yang fana. Dunia tempat aku berpijak ini tak bersifat kekal. Duniaku bersifat sementara. Hanya pada DIA yang kekal, yang ada sejak kekal dan hidup hingga kekal aku bisa membangun kebahagiaanku. Agustinus amat memahami hal ini ketika ia bermazmur; “Jiwaku haus akan Allah, akan Allahku yang hidup.” Dan Paulus mengatakan bahwa segala-galanya adalah sampah. Semoga aku akan mampu mengisi halaman yang masih tersisa dalam buku kehidupanku dengan jejak langkah ketika aku mencari wajah Allahku yang hidup, dan menutup bab terakhir buku kehidupanku ini dengan memandang keilahiannya, mata dengan mata. Dan...temanku, apa yang anda cari dalam hidup ini?

Anak

Anak-anak


Jalanan berdebu. Panas menyengat kulit. Kendaraan berseliweran. Seorang gadis cilik berdiri di persimpangan jalan sambil membawa sebuah kaleng susu. Dia menadahkan tangannya kepada para penumpang kendaraan yang lewat. Kulitnya legam. Wajahnya yang manis terlapisi semacam tirai kesedihan. Di sisi lain dari jalan raya itu, tergeletak seorang wanita tua, tanpa kaki. Dengan tubuh yang tertutup sarung kusam, dia memandangi orang-orang yang sedang lalu lalang. Asap mengepul dari knalpot mobil tepat di depannya. Kendaraan terus berseliweran. Tidak peduli. Tidak memperhatikan. Tidak berhenti. Hidup berjalan terus. Insan-insan yang lemah terpinggirkan tanpa rasa iba setitikpun. Sedih? Adakah itu?

Rumah yang asri. Pepohonan rindang menyembul dari balik taman yang luas. Dalam sebuah kamar yang sejuk, berpendingin udara, seorang gadis cilik sedang duduk melamun. Dia sendirian. Dan kesepian. Di depannya tergeletak boneka-boneka yang lucu. Tetapi pandangannya kosong. Ayahnya sibuk berbisnis. Ibunya sibuk berkarir. Para pembantu berkeliaran sambil bercengkerama di ruang tamu. Dia sendirian. Dan kesepian. Dia memandangi boneka-bonekanya. Letih berbicara kepada dirinya sendiri. Letih memandangi dinding kamarnya yang bisu. Letih pada keinginannya untuk bertutur. Letih pada keinginannya untuk bercanda dengan sesamanya. Sedih? Adakah itu?

Aula itu luas. Puluhan orang sedang berkumpul. Mereka mendengarkan ceramah seseorang yang berada di mimbar. Jauh tinggi di atas podium. Seseorang yang bertutur tentang rencana-rencana besar dalam menghadapi kesesakan hidup. Dengan mulut berbusa-busa. Dengan semangat bernyala-nyala. Seorang gadis cilik tertidur di sudut aula itu. Tidak peduli pada kalimat-kalimat panjang yang sedang dihamburkan. Dia tertidur sambil, mungkin, memimpikan keluarganya sedang berkumpul bersama sambil bercerita lepas. Ayahnya yang mendongengkan kisah Putri Duyung. Ibunya yang sedang membelai rambutnya. Dan saudara-saudaranya yang terus mengusiknya. Dia tertidur. Dan tersenyum dalam tidurnya. Sedih? Adakah itu?

Pantai membentang luas. Pasir putih lembut. Lidah ombak menjilat kaki-kaki yang berjalan di atasnya. Sekelompok anak-anak berlari-lari. Saling melempar gumpalan pasir ke arah teman-temannya. Mereka berputar meliuk-liuk di tengah kerumunan orang yang sedang berdarmawisata. Seorang gadis kecil melihat semua itu. Dengan hasrat. Dengan rindu. Tetapi larangan ayahnya untuk tidak berlarian membuatnya tetap terpaku di atas tikar ini. Sedang ayahnya sedang sibuk memancing. Sambil bercengkerama dengan teman-temannya. Sambil memegang tongkat kailnya. Sedih? Adakah itu?

Kesedihan anak-anak kini semakin dilupakan dan terlupakan oleh kesedihan orang dewasa. Anak-anak hanya berarti jika dia mampu memuaskan hasrat dan keinginan orang tua. Sedang para ayah dan ibu merasakan bahwa kesusahan mereka adalah hal utama dalam hidup keluarga. Anak-anak tak pernah sedih. Anak tak perlu sedih. Anak-anak harus menerima segala hal tanpa perlu membantah. Tetapi tidakkah Yesus sendiri berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga. Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.” (Mat 18:3-5)

Maka selayaknya kita mampu menyadari kesedihan anak-anak kita semua. Bahwa hidup bukan hanya demi untuk memuaskan keinginan materi mereka saja. Atau bahwa hidup mereka hanya akan baik jika mengikuti kesenangan dan keamanan kita saja. Kita pertama-tama harus bertanggung-jawab terhadap keberadaan mereka, terhadap kegembiraan hidup mereka dan mereka pun akan memberikan kita kebahagiaan atas keberadaan mereka. Bukan sebaliknya, kebahagiaan dan keberadaan mereka tergantung pada kebahagiaan dan keberadaan kita sendiri. Karena itu, persoalan yang sedang menimpa generasi muda kita tergantung pada kesediaan kita untuk merubah cara pandang kita menghadapi anak-anak kita sendiri. Tanpa itu, kita cuma mampu memarahi. Atau mengutuk. Dan kita pun tetap lelap dalam kebiasaan kita sendiri. Dengan ambisi dan hasrat kita saja. Dan anak-anak pun kian terpinggirkan. Dan disia-siakan. Dan dilupakan.

Kamis, 26 Juni 2008

Kesaksian

Senyumlah Pada Tuhan

Banyak orang tak mau banyak-banyak tersenyum karena hidup di kota bukan perlu senyum, tapi punya banyak uang baru bisa tersenyum. Walau uang bisa tersenyum pada orang, senyum perlu uang agar orang tetap bisa tersenyum pada kemiskinan. Maka di kota, orang tersenyum untuk dapat uang agar orang bisa punya uang dan kemiskinan tak lagi tersenyum padanya.

"Tersenyumlah, Bu," begitu kata seorang ibu setengah baya pada seorang ibu yang lebih muda di sebelahnya, yang senyumnya belum datang seperti juga ibu di depannya, di belakangnya; seperti juga bapak-bapak di samping kiri, kanan bahkan seperti yang tua-tua yang duduk bersila, bersandar pada dinding joroknya; juga yang di sudut-sudut ruangan sempit dan pengap malam itu. Senyum semua orang seolah sembunyi pada gelapnya malam. Hanya beberapa anak kecil yang duduk dan tidur-tiduran di bagian depan, tertawa-tawa seolah tertawa pada miskinnya tempat itu, miskinnya mereka sendiri. Hujan sudah reda. Gerimis masih ada dari sisa deras hujan sebelumnya, tapi banyak air membasahi lantai yang terbawa dari baju lusuh basah orang-orang yang datang, duduk bersila di basahnya lantai di sesaknya ruangan itu.

"Tersenyumlah, Bu," kata ibu setengah baya itu lagi. Ibu yang disapa belum juga tersenyum. Bau tak sedap bercampur pada lusuh wajah selusuh basah bajunya. Ibu muda itu, seperti orang lain di tempat itu adalah para pemulung. Kebaktian belum dimulai, namun sebagian dari mereka bukan datang untuk kebaktian, tapi untuk makan; kadang untuk uang walau sering tak ada makan dan tak ada uang di tempat sempit dan pengap itu. "Saya sudah sering senyum, pada pagi, pada kehidupan, pada kemiskinan, juga pada malam hujan seperti ini," katanya. Hujan memang selalu membuat, bukan saja diri dan bajunya menjadi basah selusuh-lusuhnya, tetapi juga rumah kardusnya di pinggir rel kereta di seberang sana itu, pastilah sudah menjadi rusak sebasah-basahnya; dan pastilah juga ia harus menatap langit tanpa bulan di atas sana pada tidur malamnya sehabis hujan malam itu.

Dan siapakah yang berani berkata padanya, "Sudah, hujan sudah kehabisan airnya, jadi tidurlah saja dengan tenang di pinggir jalan sambil berharap-harap pada hujan, agar hujan tak lagi mendatangkan basah air hujannya." Biasanya hujan memang datang lagi tengah malamnya atau pagi-paginya. Sebelumnya atau sesudahnya, sama saja, basahlah pasti tidurnya.

"Oh, kapan aku bisa berlindung dari basahnya hujan, atau berharap pada hujan agar tak hujan?" lanjutnya. "Tenang, Bu. Tuhan pasti mendengar kesusahan ibu karena Tuhan itu baik," kata ibu setengah baya yang penuh senyum tadi dengan sabar. "Yesus telah memberikan keselamatan kekal itu pada kita dengan rela mati di atas kayu salib. Pastilah Ia sangat mengasihi kita semua. Maka, tersenyumlah pada Tuhan," lanjutnya. "Bagaimana bisa? Aku hidup dalam lusuh basah bajuku, sementara banyak orang hanya senyum untuk uang. Dan sementara aku senyum untuk baju basah lusuhku, aku juga harus senyum bukan untuk uang tapi untuk Tuhan?" sergah ibu muda itu.

Kebaktian hampir dimulai, percakapan masih jauh dari sepakat. Ibu muda itu semakin membatu sementara ibu setengah baya itu dengan sabar menjatuhkan setetes demi setetes air kerinduan akan Tuhan dalam bait-bait senyumnya. Ada kesedihan dalam getir gentar jiwanya melihat keras membatu hati di hadapan matanya, tetapi senyum itu tetap di jiwanya, mengalir dan mengalir tak habis-habis seolah-olah di sanalah tempatnya Sumber Kehidupan.

Malam makin jauh malamnya. Gerimis belum berhenti gerimisnya. Masih basah baju mereka, hujan kecil-kecil menyanyikan pujian bagi Tuhan dalam rintik-rintiknya. Tuhan para pemulung di ruang sempit dan pengap. Tuhan atas 'senyum yang belum juga datang'.

Kebaktian selesai. Percakapan dimulai lagi. Percakapan semakin jauh dari sepakat. Ibu muda itu kini benar-benar sudah membatu, meski baru saja ia menyanyi Haleluya. Ibu setengah baya itu akhirnya menghentikan kata-katanya demi kesabarannya dalam tetap senyumnya, "Andai suatu saat nanti ibu muda ini mau tersenyum untuk Tuhan dan bukan untuk malam, untuk hujan dan untuk uang...," pikirnya. Tetapi ibu muda itu tetap menggerutu pada basah lusuh bajunya, pada
malam hujan basah rumah kardusnya, pada Tuhan atas hujan malam itu.

Ibu setengah baya itu diam seperti malam, namun senyum masih ada di jiwanya dan mengalir di hatinya, terlihat di bibirnya dan terpancar di matanya. Namun angin malam itu telah membawa senyumnya pergi menjauh dari seorang ibu muda
yang membatu, juga dari sebagian besar orang lusuh dalam lusuh basah baju mereka di tempat itu, yang hanya mau tersenyum pada uang tak juga pada Tuhan. Tak hanya orang yang banyak uang yang tak mau senyum pada Tuhan. Hanya
sedikit yang tersenyum untuk Tuhan dan bukan untuk uang - senyum itu memang hanya hidup di sana, pada sedikitnya mereka yang senyum pada Tuhan.

Sebelum ia tahu bahwa kanker tengah merongrong kesehatannya, sebelum semua tahu bahwa kanker itu bertahun-tahun telah ia bawa pergi sampai ke tempat sempit dan pengap, ibu setengah baya itu dulu pernah bilang, "Bukan aku yang tersenyum padamu, tapi Tuhan memang tersenyum padaku, padamu; maka tersenyumlah juga pada Tuhan."

Dan ketika tahu bahwa kehidupan tak lagi berpihak padanya, ia tetap berkata, "Tersenyumlah selalu pada Tuhan, maka engkau akan tersenyum pada kematian."

Ibu setengah baya itu, Ibu Mien, kukenal memang dengan senyumnya. Senyum yang datang dari Sumber Kehidupan. Senyum yang telah memberi terang pada malam. Ia baru saja pergi, meninggalkan sedih yang dalam di hatiku dan basah
di mataku, tapi ia sendiri telah menyambut kematian itu dengan senyum sukacitanya. Bukan karena kematian itu diam-diam seperti diamnya malam, tapi karena sempat ia diberi waktu mengabarkan Injil, sampai hari di ujung hari-harinya, meski harus ke tempat sempit dan pengap.

"Karena Tuhan itu baik," katanya.
Masih dapat kuingat senyumnya, pada malam, pada kehidupan, pada kematian, pada Tuhan. Senyum dari Sumber Kehidupan yang dibawanya pergi, telah ditinggalkannya pula bagiku.

Kehidupan Remaja

Remaja dan Aspek Psikososial

Banyak yang bilang masa remaja adalah masa yang paling indah (duh... seperti di dalam lagi ya) karena di masa remaja banyak perubahan yang kita alami, mulai dari perubahan fisik sampai psikologi. Dan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk masyarakat.

Segala macam aspek hubungan sosial dengan kawan, orangtua, ataupun guru bisa disebut dengan aspek psikososial.

Masa remaja yang kita alami ini merupakan suatu periode dalam rentang kehidupan manusia, mau atau tidak mau pasti kita mengalaminya. Pada masa ini, berlangsung proses-proses perubahan secara biologis juga perubahan psikologis yang dipengaruhi berbagai faktor, termasuk oleh masyarakat, teman sebaya, dan juga media massa. Kita yang berada di masa remaja ini juga belajar meninggalkan sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan pada saat yang bersamaan kita mempelajari perubahan pola perilaku dan sikap baru orang dewasa. Selain itu, kita yang remaja ini juga dihadapkan pada tuntutan yang terkadang bertentangan, baik dari orangtua, guru, teman sebaya, maupun masyarakat di sekitar. Kita bisa-bisa menjadi bingung karena masing-masing memberikan tuntutan yang berbeda-beda tergantung pada nilai, norma, atau standar yang digunakan.

Intinya aspek psikososial bisa didefinisikan sebagai aspek yang ada hubungannya dengan kejiwaan kita dan sosial. Kejiwaan tentu saja berasal dari dalam diri kita, sedangkan aspek sosial berasal dari luar (eksternal). Kedua aspek ini sangat berpengaruh kala masa pertumbuhan kita.

Kadang yang lebih berpengaruh justru bukan aspek kejiwaan, melainkan aspek eksternal. Misalnya, media massa membangun imej remaja putri yang oke adalah yang berkulit putih, bertubuh langsing, dan berpayudara besar. Demi mengejar body image seperti itu, banyak yang termakan dan berusaha menjadi imej seperti yang dikatakan di media massa.

Sudah saatnya perubahan diri terjadi bukan dari luar, melainkan dari dalam diri kita sendiri karena seharusnya aspek psikososial berlangsung secara seimbang. Pengaruh dari luar harusnya mampu mengubah kita menjadi manusia yang lebih baik. Dengan kondisi ini, diharapkan interaksi aspek psikologi dan sosial dapat menjadi positif, yang pada akhirnya dapat berdampak positif pada pembentukan identitas diri kita.

Minggu, 22 Juni 2008

Khawatir.....

Khawatir adalah kata yang tidak asing. Khawatir sudah menjadi bagian kehidupan manusia, walaupun tingkatnya setiap orang tidak sama.
Seorang hamba Tuhan mengatakan bahwa kekhawatiran itu seperti seorang pencuri yang berhasil mencuri senyum seseorang. Dengan kata lain bahwa kekhawatiran itu merampas sukacita di dalam hidup ini.
Khawatir, dalam dari bahasa aslinya, bisa diterjemahkan ”pikiran yang bercabang”, bisa juga diterjemahkan ”pikiran yang tidak fokus”. Banyak sekali yang akan dikerjakan, semua pekerjaan diangap penting untuk dikerjakan, namun pada akhirnya tidak ada satu pun yang bisa diselesaikan. Banyak yang dipikirkan namun tidak ada satu pun yang bisa dilakukan. Memang bisa juga diartikan khawatir itu suatu keadaan yang mencekik, atau keadaan itu membuat seseorang kepepet.
Tuhan Yesus pernah memberikan perumpamaan tentang benih yang disebar. Di antaranya adalah jatuh ke semak duri. Benih itu memang bertumbuh namun terdesak oleh semak duri tersebut sehingga tidak bisa menghasilkan buah seperti yang diharapkan. Lihat yang tertulis didalam Matius 13:22: Yang ditaburkan di tengah semak duri ialah orang yang mendengar firman itu, lalu kekhawatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah.

Akibat Kekhawatiran
Yang pertama, seorang yang mengalami kekhawatiran di dalam hidup ia akan lebih menonjolkan pikiran-pikiran manusiawinya. Pada saat orang khawatir, sebenarnya orang tersebut sedang dikuasai apa yang terjadi di sekitarnya. Semua dilihat dari kacamata dirinya, dia membandingkan antara kekuatannya sendiri, sikap yang demikian ini menimbulkan kekhawatiran. Pandangan-pandangan Ilahi yang ada di dalam dirinya tergilas oleh sikap membandingkan diri dengan membandingkan apa yang terjadi di sekitarnya.

Yang kedua,
kekhawatiran itu juga mengakibatkan orang percaya tidak bisa membedakan antara yang bersifat sementara dengan yang bersifat kekal. Sebagai orang percaya sudah jelas tujuan yang paling utama, tidak lain adalah hidup ini untuk kemuliaan nama Tuhan.

Misalnya, anak sakit. Kita tahu bahwa anak ini pasti akan sembuh, sudah dibawa dokter, sudah diobati, tinggal tunggu sembuh. Namun, justru hal yang sederhana itu menjadi ruwet karena ditambahi oleh pikiran-pikiran yang seharusnya tidak perlu. Bagaimana nanti kalau sakitnya berat, jangan-jangan diagnosisnya salah, dan sebagainya. Kekhawatiran menguasai di dalam hidup ini, sehingga melupakan hal-hal yang bersifat kekal.

Yang ketiga,
memperbesar kekhawatiran dan mengimpit kemampuan sehingga tidak bisa menghasilkan buah-buah yang efektif. Tuhan Yesus memberikan contoh benih yang jatuh ke semak duri. Benih itu tidak bisa tumbuh dan menghasilkan buah yang diharapkan karena hidupnya terimpit oleh semak duri. Kalau seseorang membiarkan kekhawatiran itu bertambah besar, pada akhirnya dia akan dikuasai rasa khawatir tersebut. Sebagai akibatnya, hidup tidak tenang, ia tidak bisa bekerja secara maksimal.


Yang keempat,
kekhawatiran itu sendiri akan mengimpit hidup kita sehingga kita akan kehilangan sukacita. Dan sebagai akibat itu semua, pandangan-pandangan kita akan menjadi negatif. Setiap peristiwa apapun yang dilihat, akan dilihat dari sisi negatifnya. Baik kepada orang, atau kepada apa yang terjadi di lingkungannya.


Menghadapi Kekhawatiran
Baiklah kita membaca apa yang dikatakan Firman Tuhan yang ditulis oleh Paulus ditujukan kepada jemaat di Filipi seperti yang tertulis dalam Filipi 4:4-7:"Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah! Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat! Janganlah hendaknya kamu khawatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur".
Jika kita simak Firman Tuhan ini, ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh orang percaya.
Pertama, walaupun situasi tidak menyenangkan namun hendaknya sukacita itu tidak hilang dari kehidupan ini. Perlu diketahui bahwa ketika Rasul Paulus menulis surat ini, ia berada di dalam penjara. Paulus tidak kehilangan sukacita.


Kedua, jangan sampai meninggalkan kesempatan berbuat baik. Selagi ada kesempatan lakukanlah perbuatan baik itu. Kegiatan melakukan berbuat baik, akan mengurangi rasa khawatir, karena melihat orang lain memiliki nasib yang sama atau malah lebih buruk dari pada kenyataan yang sedang dihadapi sendiri.


Ketiga, menyerahkan kekhawatiran kepada Tuhan. Tuhan adalah Tuhan yang maha bijaksana dan maha perkasa. Ialah yang menentukan langkah-langkah orang percaya. Kita lakukan apa yang bisa kita lakukan dengan segenap hati, namun apa yang tidak bisa kita lakukan kita serahkan kepada Tuhan. Biarlah Ia yang menyelesaikan setiap masalah yang menyebabkan hati kita khawatir.